Norman Edwin Sang Legenda Asli INDONESIA
Norman Edwin Sang Legenda Norman Edwin adalah
sosok legendaris di dunia alam bebas dan pendaki gunung. Seorang yang pemberani
dan di cap sangat murah hati oleh keluarga, teman dan sesama rekan wartawan
Kompas dan Majalah Jakarta Jakarta. Ia wafat pada pertengahan april 1992 saat
melakukan pendakian di Gunung Aconcagua Argentina yang berketingian 6.959 mdpl.
bersama rekannya Didiek Syamsu Wahyu Triachdi. Pendakian tersebut termasuk
dalam Ekspedisi Sevent Summit Mapala UI yang menuju Aconcagua, Everest, Elbrus,
Cartenz Pyramid, Mc Kinley dan Kilimanjaro.
Indonesia berduka, musibah menimpa Expedisi Seven
Summit pada pertengahan April 1992 merenggut dua orang pendaki terbaiknya,
Norman Edwin dan Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Media nasional dan international
banyak meliput kejadian tewasnya dua pendaki ini. Norman saat itu memimpin Team
Pecinta Alam Universitas Indonesia yang tergabung di Mapala UI dalam upayanya
mendaki Puncak Aconcagua 6959-mtr Chile. Gunung yang disebut juga ‘The Devil’s
Mountain’ karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering kali badai
salju melanda pegunungan selama berhari hari. Puncaknya dijadikan tujuan karena
menjadi salah satu Puncak Tertinggi dalam Expedisi Tujuh Puncak Dunia Mapala
UI. Berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua, Pendakian Gunung, Pelayaran,
Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di Irian Jaya, Kalimantan, Africa,
Canada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan kekuatan phisik pada dirinya
yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977. Sampai akhirnya terpilih
menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy “Becak” Nurcahyo,
Mohamad Fayez dan Dian Hapsari, satu - satunya wanita dalam team tersebut.
Sebetulnya banyak meragukan kemampuan Norman, jauh hari sebelum Expedisi ini di
mulai, namun pengalamannya selama 15 tahun dalam berpetualang serta menghadapi
berbagai bahaya, diyakini membuatnya tetap berangkat. Saat expedisi
berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan akhirnya merenggut duet
pendaki ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama ditemukan pada tanggal 23 Maret
atas laporan beberapa pendaki negara lain yang kebetulan melihat mereka berdua
terakhir di ketinggian 6400 m, beberapa ratus meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya terlihat sangat kritis, beberapa jari
Norman terkena Frosbite ( Mati Beku karna Dingin ) dan Didiek menderita Snow
Blindness ( Buta Salju ) akibat pancaran sinar matahari yang berlebihan,
memantul di hamparan salju dataran tinggi. Kemungkinan hal ini sangat mendekati
karena Google ( Kacamata Salju ) yang dipakai Didiek rusak berat.
Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian
dan langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi
merebak melalui media massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena
minimnya pelaralatan yang dibawa. Aconcagua terpilih setelah Mapala UI
merencanakan Expedisi Tujuh Puncak Dunia lainnya yaitu Cartenz Pyramid ( 4,884
meter ) di Irian Jaya; McKinley ( 6,194 meter ) di Alaska, Amerika Serikat;
Kilimanjaro ( 5,894 meter ) di Tanzania, Afrika; dan Elbrus (5,633 meter ) di
Uni Soviet, ( sekarang Rusia ). Setahun kemudian setelah tragedi ini, Mapala UI
yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup ini, mencoba mengirim kembali
dua anggota lainnya yaitu Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan
pendakian sekelas Expedisi Aconcagua ke Vinson Massif ( 4,887 meter ) di Kutub
Selatan. Dan satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi
Universitas Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini. Dua
kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat Mapala UI, karna puncak
terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi Gabungan selanjutnya yang
terdiri dari Mapala UI, Kopassus dan Wanadri.
‘Kami berusaha melakukan pendakian gabungan ke
Everest tahun 1997 dan sukses, dua anggota team dari prajurit Kopassus yaitu
Asmujiono dan Misirin berhasil mencapai Puncak Everest.’ ujar Rudy “Becak”
Nurcahyo anggota Indonesian National Team to Everest yang juga kehilangan
jarinya karena Frosbite di Expedisi Aconcagua ‘Kami mencoba yang tebaik untuk
mewujudkan itu semua.. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan tersenyum
disana melihat keberhasilan Team Everest ini. Walaupun setelah tahun 1997,
Indonesia dilanda krisis ekonomi kemudian masa reformasi yang tak lama
berselang. Keadaan ini otomatis ini menghambat Expedisi - expedisi selanjutnya
yang telah direncanakan.tambahnya. Bagi istri Norman, Karina serta Melati
putrinya, sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan yang
takkan terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam
bebas yang digeluti ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia
masih kecil. ‘Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya
diantara pendaki - pendaki yang ada sekitar tahun 1970 - 80, dan Didiek adalah
teman dekatnya. Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan yakin bahwa
wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria, apalagi
menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua’ papar Karina yang dulu
juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan mengambil
kuliah lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.
‘Norman pernah
mengatakan, aktivis alam wanita cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan
dapat mengatasi situasi darurat jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia
sangat humoris dan mempunyai semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yang
rasakan Melati, sifat ayahnya ini menurun kepadanya walaupun ia masih berusia
remaja. “Janganlah kita mencoba menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk
menaklukkan ego serta mengetahui batasan diri kita sendiri”, faktor ini adalah
yang terpenting jika ingin menekuni olahraga beresiko tinggi’ ungkap Karina
yang dulu juga ikut dalam team di Expedisi Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan
saat ini telah menyelesaikan program Doctoral nya di Australian National
University. Norman dan Didiek telah tiada, namun spiritnya kuat meresap di hati
para pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Penghargaan patut mereka terima
atas keberanian dan semangat pantang menyerah, sehingga dapat dijadikan contoh
bagi petualang - petualang muda lainnya yang masih ada